1. Golongan yang dikecualikan dari hukum Sholat Jenajazah
Ada dua orang golongan yang dikecualikan dari hukum Sholat Jenajazah. Kedua golongan tersebut tidak wajib di shalatkan, namun boleh juga (disyariatkan) untuk di shalatkan yaitu :
a. Anak kecil yang belum baligh
Sesungguhnya Nabi tidak menyalatkan putra beliau -Ibrahim- . ‘Aisyah berkata, “Ibrahim, putra Nabi meninggal dunia ketika berusia delapan belas bulan. Rasulullah tidak menyalatkannya.” (HR. Abu Dawud no. 3187, hadist hasan, lihat Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).
Manakala janin itu usianya belum genap empat bulan, maka tidak di shalatkan, karena belum di tiupkan ruh padanya, sehingga tidak di kategorikan sebagai mayit atau jenazah. (lihat Ahkamul Jana’iz hal 81).
b. Mati syahid
Banyak para syuhada baik pada perang Uhud atau yang lainnya tidak di shalatkan oleh rasulullah. Namun di waktu lain, beliau juga menyalatkan sebagian para syuhada, di antaranya adalah paman beliau, Hamzah yang mati syahid di perang Uhud. Tentunya menyalatkannya itu lebih utama karena shalat jenazah itu merupakan doa untuk si mayit sekaligus sebagai tambahan ibadah bagi yang mengerjakannya.
Catatan: Dan yang di maksud syuhada di sini adalah orang orang gugur di pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat Allah ta'ala. karena di sana ada orang orang yang di sebut syuhada akan tetapi wajib di mandikan dan di shalatkan di antaranya di sebut dalam sebuah riwayat dari Jabir Bin ‘Atik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada tujuh macam syuhada’ lagi selain dari syahid dalam perang sabil: orang yang mati karena penyakit sampar adalah syahid, orang yang tenggelam adalah syahid, orang yang kena kanker pada lambungnya adalah syahid, orang yang sakit kolera adalah syahid, orang yang mati terbakar adalah syahid, orang yang ditimpa runtuhan adalah syahid, dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Kedua golongan di atas Anak kecil yang belum baligh dan orang yang mati syahid, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hukumnya sunnah seperti tersebut dalam hadits Aisyah: “Didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun menshalatinya…”HR. An-Nasa`i no. 1947, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘alash Shibyan, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa`i.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah: “Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya. “Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut. “Bagian yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untukmu,” jawab mereka. A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , seraya bertanya: “Harta apa ini?” “Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . “Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.” Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya. “Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.“Ya,“ jawab mereka yang ditanya. “Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu.” (HR. Abdurrazzaq no. 6651, An-Nasa`i no. 1953, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar no. 2818 dan selainnya)
Ibnul Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad t. Dan pendapat inilah yang paling men-cocoki ushul dan madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)
Catatan: Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud radhiallahu ‘anhu secara marfu‘:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama 40 hari juga. Setelah itu (ketika janin telah berusia 120 hari atau 4 bulan, –pent.) Allah mengutus seorang malaikat yang diperintah dengan empat kata, dikatakan kepada malaikat tersebut: “Tulislah amal dan rizkinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara. Kemudian ditiupkan ruh pada janin tersebut….”(HR. Al-Bukhari no. 3208, dan Muslim no. 6665)
Adapun bila janin itu gugur sebelum 4 bulan maka tidak dishalati, karena janin tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat (karena belum mempunyai ruh). (Al-Hawil Kabir, 3/31, Al-Muhalla 3/386-387, Nailul Authar 4/61)
2. Golongan orang - orang di bawah ini maka berlaku syariat shalat jenazah
Adapun golongan orang - orang di bawah ini maka berlaku syariat shalat jenazah untuk mereka (fardhu kifayah)
a. Orang yang meninggal dunia karena menjalani hukuman pidana mati (had) seperti rajam atau qishash.
Seorang wanita dari Juhainah menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta dihukum rajam karena terjatuh dalam perbuatan zina, akhirnya dia pun dirajam. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan jenazahnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Nabi, apakah Anda menyalatkannya sedang dia telah berbuat zina?”
Jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah tentu akan mencukupi mereka. Apakah engkau pernah menemukan taubat yang lebih utama daripada seorang wanita yang menyerahkan jiwanya kepada Allah?” (HR. Muslim no. 1696)
b. Pelaku maksiat yang tenggelam dalam berbagai kemaksiatan.
Orang semacam ini tetap dishalatkan, hanya saja para tokoh agama (alim ulama) tidak menyalatkannya sebagai bentuk hukuman dan pemberian pelajaran kepada orang-orang yang setipe dengannya. Sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
d. Seseorang yang di makamkan sebelum dishalatkan atau sudah dishalatkan oleh sebagian orang sedangkan sebagian yang lain belum menyalatkannya.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengisahkan, ada jenazah dimakamkan pada malam hari. Keesokan harinya orang-orang baru memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa yang menghalangi kalian untuk memberitahuku?” Mereka menjawab, “Meninggalnya tadi malam, sedangkan suasana ketika itu sangat gelap. Kami tidak ingin menyusahkan Anda.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun lantas mendatangi kuburannya dan menyalatkannya. (HR. al-Bukhari no. 1247)
e. Seseorang yang meninggal dunia di sebuah negeri dan tidak ada seorang pun yang menyalatkannya di depan jenazah.
Maka jenazah seperti ini dishalatkan oleh sekelompok kaum muslimin dengan shalat ghaib walaupun di negeri yang lain. Hal ini berdasarkan shalat ghaib yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk an-Najasyi, raja negeri Habasyah. Oleh karena itu bukan bagian dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalatkan setiap jenazah dengan shalat ghaib. (Zadul Ma’ad 1/205-206)
Di antara dasar yang menguatkan pendapat bahwa shalat ghaib tidak disyariatkan untuk setiap jenazah yang berada di tempat yang jauh adalah ketika para Khulafa’ur Rasyidin dan selain mereka meninggal dunia, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh menyalatkannya dengan shalat ghaib. Jika memang mereka melakukannya tentu akan didapati banyak penukilan tentang hal ini dari mereka.
Ada dua orang golongan yang dikecualikan dari hukum Sholat Jenajazah. Kedua golongan tersebut tidak wajib di shalatkan, namun boleh juga (disyariatkan) untuk di shalatkan yaitu :
a. Anak kecil yang belum baligh
Sesungguhnya Nabi tidak menyalatkan putra beliau -Ibrahim- . ‘Aisyah berkata, “Ibrahim, putra Nabi meninggal dunia ketika berusia delapan belas bulan. Rasulullah tidak menyalatkannya.” (HR. Abu Dawud no. 3187, hadist hasan, lihat Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).
Manakala janin itu usianya belum genap empat bulan, maka tidak di shalatkan, karena belum di tiupkan ruh padanya, sehingga tidak di kategorikan sebagai mayit atau jenazah. (lihat Ahkamul Jana’iz hal 81).
b. Mati syahid
Banyak para syuhada baik pada perang Uhud atau yang lainnya tidak di shalatkan oleh rasulullah. Namun di waktu lain, beliau juga menyalatkan sebagian para syuhada, di antaranya adalah paman beliau, Hamzah yang mati syahid di perang Uhud. Tentunya menyalatkannya itu lebih utama karena shalat jenazah itu merupakan doa untuk si mayit sekaligus sebagai tambahan ibadah bagi yang mengerjakannya.
Catatan: Dan yang di maksud syuhada di sini adalah orang orang gugur di pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat Allah ta'ala. karena di sana ada orang orang yang di sebut syuhada akan tetapi wajib di mandikan dan di shalatkan di antaranya di sebut dalam sebuah riwayat dari Jabir Bin ‘Atik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada tujuh macam syuhada’ lagi selain dari syahid dalam perang sabil: orang yang mati karena penyakit sampar adalah syahid, orang yang tenggelam adalah syahid, orang yang kena kanker pada lambungnya adalah syahid, orang yang sakit kolera adalah syahid, orang yang mati terbakar adalah syahid, orang yang ditimpa runtuhan adalah syahid, dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Kedua golongan di atas Anak kecil yang belum baligh dan orang yang mati syahid, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hukumnya sunnah seperti tersebut dalam hadits Aisyah: “Didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun menshalatinya…”HR. An-Nasa`i no. 1947, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘alash Shibyan, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa`i.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah: “Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya. “Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut. “Bagian yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untukmu,” jawab mereka. A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , seraya bertanya: “Harta apa ini?” “Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . “Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.” Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya. “Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.“Ya,“ jawab mereka yang ditanya. “Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu.” (HR. Abdurrazzaq no. 6651, An-Nasa`i no. 1953, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar no. 2818 dan selainnya)
Ibnul Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad t. Dan pendapat inilah yang paling men-cocoki ushul dan madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)
Catatan: Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud radhiallahu ‘anhu secara marfu‘:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama 40 hari juga. Setelah itu (ketika janin telah berusia 120 hari atau 4 bulan, –pent.) Allah mengutus seorang malaikat yang diperintah dengan empat kata, dikatakan kepada malaikat tersebut: “Tulislah amal dan rizkinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara. Kemudian ditiupkan ruh pada janin tersebut….”(HR. Al-Bukhari no. 3208, dan Muslim no. 6665)
Adapun bila janin itu gugur sebelum 4 bulan maka tidak dishalati, karena janin tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat (karena belum mempunyai ruh). (Al-Hawil Kabir, 3/31, Al-Muhalla 3/386-387, Nailul Authar 4/61)
2. Golongan orang - orang di bawah ini maka berlaku syariat shalat jenazah
Adapun golongan orang - orang di bawah ini maka berlaku syariat shalat jenazah untuk mereka (fardhu kifayah)
a. Orang yang meninggal dunia karena menjalani hukuman pidana mati (had) seperti rajam atau qishash.
Seorang wanita dari Juhainah menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta dihukum rajam karena terjatuh dalam perbuatan zina, akhirnya dia pun dirajam. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan jenazahnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Nabi, apakah Anda menyalatkannya sedang dia telah berbuat zina?”
Jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah tentu akan mencukupi mereka. Apakah engkau pernah menemukan taubat yang lebih utama daripada seorang wanita yang menyerahkan jiwanya kepada Allah?” (HR. Muslim no. 1696)
b. Pelaku maksiat yang tenggelam dalam berbagai kemaksiatan.
Orang semacam ini tetap dishalatkan, hanya saja para tokoh agama (alim ulama) tidak menyalatkannya sebagai bentuk hukuman dan pemberian pelajaran kepada orang-orang yang setipe dengannya. Sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
d. Seseorang yang di makamkan sebelum dishalatkan atau sudah dishalatkan oleh sebagian orang sedangkan sebagian yang lain belum menyalatkannya.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengisahkan, ada jenazah dimakamkan pada malam hari. Keesokan harinya orang-orang baru memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa yang menghalangi kalian untuk memberitahuku?” Mereka menjawab, “Meninggalnya tadi malam, sedangkan suasana ketika itu sangat gelap. Kami tidak ingin menyusahkan Anda.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun lantas mendatangi kuburannya dan menyalatkannya. (HR. al-Bukhari no. 1247)
e. Seseorang yang meninggal dunia di sebuah negeri dan tidak ada seorang pun yang menyalatkannya di depan jenazah.
Maka jenazah seperti ini dishalatkan oleh sekelompok kaum muslimin dengan shalat ghaib walaupun di negeri yang lain. Hal ini berdasarkan shalat ghaib yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk an-Najasyi, raja negeri Habasyah. Oleh karena itu bukan bagian dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalatkan setiap jenazah dengan shalat ghaib. (Zadul Ma’ad 1/205-206)
Di antara dasar yang menguatkan pendapat bahwa shalat ghaib tidak disyariatkan untuk setiap jenazah yang berada di tempat yang jauh adalah ketika para Khulafa’ur Rasyidin dan selain mereka meninggal dunia, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh menyalatkannya dengan shalat ghaib. Jika memang mereka melakukannya tentu akan didapati banyak penukilan tentang hal ini dari mereka.
No comments:
Post a Comment